Sabtu, 05 Februari 2011

Motivasi dan Inspirasi dalam Kehidupan Sehari – Hari



MUTIARA DI HADAPAN KITA


segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar manusia sesuatu yang tidak diketahui.”

(Al Qur’an surat Al Alaq : 1-5)

Mari kita berjalan sejenak memperhatikan apa yang ada di sekeliling kita, di hadapan, di belakang, di samping kanan dan kiri kita. Nafas – nafas individualisme, merajanya egoisme, tingginya tingkat pencarian kesenangan belaka serta menipisnya pengambilan pelajaran dalam kehidupan merebah memasuki kehidupan dan bahkan hendak menguasai lembar – lembar lingkungan kehidupan.

Permasalahan apakah yang ada sebenarnya?

Negara Indonesia yang merupakan peringkat ke-4 sebagai negara terpadat penduduknya, memiliki sumber daya manusia yang melimpah dengan berbagai potensi dan kemampuan yang bisa dikembangkan untuk mengelola sumber daya alam yang ada. Namun, kenyataannya, kualitas dan kuantitas yang ada jauh dari keseimbangan. Ini merupakan sebuah krisis pembelajaran dan pengambilan kearifan dalam kehidupan. Mungkin juga adanya faktor gengsi yang tinggi yang kurang disertai pengendalian. Maka, sekarang mari kita melihat sebuah kearifan, belajar dari mereka yang masih penuh dengan kepolosan untuk dapat diimpelentasikan dalam kehidupan.

Menemukan mutiara di hadapan untuk sebuah kehidupan.

1. Pada Mereka ada Pembelajaran

‘Anak – anak’, mendengar dua kata itu adakah kita berfikir untuk belajar dari mereka? Ataukah hanya berfikir bahwa mereka hanyalah orang – orang yang sekedar butuh pengasuhan orang dewasa tanpa ada timbal balik pengaruh apa – apa pada orang dewasa? Padahal, tidaklah terciptanya sebuah hari tanpa ada pelajaran di dalamnya yang mengiringinya, tidak pula terciptanya suatu hal yang kecil melainkan untuk dapat dijadikan pelajaran berharga bagi hal yang lebih besar daripadanya.

Sebuah ilustrasi kecil dari kondisi dalam sebuah Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yaitu Kober, TK, RA, TKA dan setingkatnya. Kelas nol kecil dan nol besar. Anak – anak itu belum bisa apa – apa, namun banyak kearifan yang mereka bawa.

Berikut sebuah kisah kecil mereka, dikutip dali tulisan pendek berjudul “Kisah Kecil” karya Yesi Susanti,

“Ibu…, lihat…,” tangan mungil itu menarik – narik bajuku. Aku tersenyum menatapnya. Ku lihat hasil tulisannya, baru ia menebalkan satu garis untuk membuat angka tujuh.

“Ibu…lihat yang ini…,” suara lain memanggil – manggil. Aku menoleh dan tersenyum melihatnya. Ku lihat juga hasil tangannya, baru satu warna ungu dari crayon yang nampak dibukunya.

“Ibu…,” suara yang lain kembali memaksaku mengalihkan tatapanku. Ia memperlihatkan hasil tangannya menebalkan titik – titik membentuk angka 8. Aku tersenyum melihat bentuk angka 8 itu.

“Coba, dilanjutkan sayang,” ucapku. Tanpa berkata hanya dengan ekpresi senyum saja ia langsung kembali membuat angka 8. Aku memperhatikannya dan aku tersenyum dibuatnya. Angka 8 itu begitu aneh, seperti lambing teta dalam matematika.

“Sini sayang, ibu ajari cara menebalkan hurufnya,,” ucapku akhirnya. Dalam hati aku pun tertawa dengan ucapanku sendiri. Aku memanggil diriku ibu, agh…lucu sekali. Padahal tadi aku diperkenalkan untuk dipanggil kakak, namun ternyata adik – adik kecil ini sudah terbawa suasana memanggil ibu hingga aku terbawa suasana itu.

“Pegangnya begini,” ucapku sambil membenarkan posisinya memegang pensil. Ku pegang tangannya dan kugerakkan untuk membuat angka 8. “Cantik, kan?” Ucapku kemudian. Anak itu tersenyum.

“Seperti ini lagi ya, Bu?” tanyanya.

“Sip!” jawabku sambil mengacungkan jempol tangan.

“Ibu…,” panggilan lain mengalihkanku. Ini lebih unik, ia memanggilku untuk memperlihatkan tulisannya yang salah lalu ia hapus. Aku tersenyum sambil mengelus – elus kepalanya.

Aku mengelilingkan mata, menatap mereka semua satu per satu dengan aktifitasnya. Hari ini memang jadwal mereka menulis angka, mencocokan gambar sesuai angka yang dituliskan serta mewarnai gambarnya.

Saat membacanya, mungkin ada hal yang menggelitik ketika anak – anak itu memanggil – manggil gurunya sekedar untuk melihatkan satu coretan yang mereka buat. Namun, itulah anak – anak yang senantiasa menunjukkan pekerjaan – pekerjaan mereka untuk sekedar dilihat dan dikoreksi orang dewasa.

Dari hal kecil itu, ada sebuah kearifan yang menjadi teladan bagi orang – orang yang berfikir. Bahwa, adanya sebuah kehati – hatian dalam perbuatan, saling koreksi untuk membangun hingga egoisme diri akan terpatahkan dengan senantiasa belajar menerima kritikan dan saran dari lingkungan. Inilah kearifan tentang keuletan dan kesabaran dalam belajar, meningkatkan kualitas diri. Manusia, belajar dari nol, dari mulai ia belajar berbicara hingga ia bisa melakukan apa yang ia suka.

Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.

(Al Qur’an Surat Ar Rahman : 3-4)

Belajar dari kearifan mereka, mengambil mutiara yang nampak jelas di hadapan kita.

2. Kita Bukan Anak Kecil

Lihatlah kondisi dunia yang ada. Meningkatnya jumlah para kaum intelektual dan menurunnya kualitas kearifan dan makna pendidikan. Tapi egoisme seringkali bertemu gas keangkuhan sehingga meledaknya permasalahan – permasalahan tanpa ada pemecahan. Masalah kecil diperbesar dan masalah besar semakin menjadi – jadi. Inikah kondisi bangsa dengan sumber daya manusia yang dimiliki?

Sebuah kisah kecil di sebuah pelataran rumah di desa kecil. Disana, ada dua anak kecil yang sedang bermain tanah dengan mobil – mobilan dan aneka mainan lainnya. Tiba – tiba mereka berdua berebut satu mobil – mobilan, padahal masih ada mobil – mobilan yang lainnya. Anak yang satu memukul temannya hingga mereka berdua saling berbalas, bahkan sampai menggunakan batu dan berdarahlah kepala salah satunya. Mereka baru diam saat orangtuanya memisahkan mereka.

Beberapa menit kemudian, mereka yang tadinya bertengkar ternyata sudah kembali dalam satu permainan. Mereka tertawa salaing berkejar – kejaran dan seolah telah benar – benar lupa bahwa beberapa menit yang lalu mereka telah saling berebut dan memukul satu sama lain. Itu luarbiasanya mereka, walau ternyata ada kondisi lain yang berkebalikan, hingga satu minggu, orang tua dari si anak itu belum juga baikan.

Itulah adanya, sebuah egoisme, perajaan sakit hati dan rasa gengsi yang tinggi. Padahal anak kecil itu sebelumnya telah mengajari orang tuanya, bahkan seluruh orang dewasa yang ada di sekelilingnya. Begitu mudahnya mereka meminta maaf dan memaafkan. Meraka bersatu untuk sebuah tujuan, membuat permainan.

Dari cerita ini, kita kembali bisa beranalogi. Melihat kondisi bangsa kita yang kaya dengan berbagai karakter manusia yang bisa dikembangkan untuk mencapai satu tujuan yaitu menjaga, mengelola dan memperbaiki apa yang yang telah disediakan Tuhan (Allah). Maka, bukan perkara saya ada di posisi/jabatan apa, namun perkara apapun diri kita dan apa kebermanfaatan diri kita untuk sebuah tujuan bersama.

Namun yang terjadi adalah sebuah krisis pembelajaran, para intelektual berebut posisi dan lupa pada tujuan bersama. Berebut sebuah posisi seperti anak kecil yang berebut satu mobil – mobilan namun akhirnya tak mau saling mengisi. Inilah kondisi yang ada, saling melempar kesalahan, saling mencari orang yang akan dikambinghitamkan, memperbesar masalah yang kecil dan sengaja membekukan masalah besar untuk menutupi keburukan – keburukan. Tak suka dikritik, ingin jalan sendiri – sendiri karena berfikir kita bukan anak kecil lagi. Padahal, sejatinya, justru anak kecil yang lebih bisa diteladani. Mereka membawa mutiara berharga. Belajar dari kearifan mereka yang mungkin tak pernah kita pandang sebelumnya.

3. Mutiara di Hadapan Kita

Manusia diberi kecerdasan dan potensi masing – masing untuk dapat dikembangkan. Tidaklah Allah menciptakan sesuatu tanpa tujuan. Termasuk diciptakannya negara ini dengan sumber daya alam dan manusia yang ada. Artinya, bahwa manusia – manusia di dalamnya memiliki kemampuan untuk mengelolanya. Setiap orang sudah berada pada wilayah dan peranannya masing – masing, namun kini perkara yang ada adalah perkara krisis pembelajaran dan pengambilan kearifan untuk sebuah penyadaran. Mutiara kearifan itu banyak terdapat di mana – mana. Mereka ada di sekeliling kita, namun mungkin kita tak terlalu memperhatikan keberadaannya. Mereka anak – anak bangsa.

Taman bunga seribu bintang, Mandapa

5 Februari 2011, 11.38 WIB